Inggris dan
Belanda merupakan salah satu dari bangsa kuat yang dimiliki Eropa. Kedua negara
ini datang ke Indonesia setelah Portugis dan Spanyol. Pada awal kedatangannya,
kedua negara lebih mengutamakan perdagangan dari pada kekuasaan. Hal ini dapat
dilihat pada saat kedatangan kapal-kapal dagang Belanda ke Banten pada tahun
1596 yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman.[1]
Para penumpang kapal dan pembesar kota
saling berkunjung. Hubungan Cornelis de Houtman yang kurang baik dengan
masyarakat Banten, maka rombongannya pun diusir dari Banten.
Pada tahun 1598,
para pedagang Belanda mulai datang kembali ke Indonesia. Banyaknya jumlah
pedagang Eropa yang datang, khususnya pedagang dari Belanda mengakibatkan
munculnya persaingan antar kongsi dagang. Untuk menghentikan persaingan antar
kongsi dagang Belanda, maka empat besar wilayah di Belanda membentuk suatu
persekutuan dagang. Empat wilayah di negeri Belanda tersebut adalah Amsterdam,
Zeeland, de Maas, dan Noord Holland.
Persekutuan
dagang ini selanjutnya dikenal dengan nama VOC atau Verenigde Oost-Indische Compagnie. VOC didirikan pada 20 Maret 1602.
Selain untuk menghindari persaingan antar kongsi dagang Belanda, tujuan
didirikannya VOC adalah untuk mencari laba sebanyak mungkin serta memperkuat
kedudukan Belanda menghadapi perlawanan Portugis dan Spanyol.
Setiap wilayah
yang tergabung di dalam VOC diwakili oleh sistem majelis yang memiliki sejumlah
direktur.[2]
Seluruh direktur VOC berjumlah 17 orang. Ke 17 direktur ini dikenal dengan nama
De Heren Zeventien (Tuan-tuan 17).
Amsterdam merupakan wilayah yang memegang peranan penting dalam VOC, hal ini
dikarenakan Amsterdam adalah penyumbang modal terbanyak di VOC.
VOC merupakan
persekutuan dagang Hindia Timur yang memiliki hak istimewa. Hak istimewa ini
dikenal dengan nama Oktroi. Akta Oktroi merupakan hak istimewa bagi VOC yang
diberikan dari Staaten Generaal (Parlemen
Belanda). Hak oktroi yang dimiliki oleh VOC, ia memiliki hak dagang di suatu
kawasan yang amat luas, terbentang dari Tanjung Pengharapan sampai Selat
Magellan, termasuk pulau-pulau di selatan Pasifik, Kepulauan Jepang, Sri
Langka, dan Cina Selatan.[3]
Selain itu VOC juga memiliki hak untuk melakukan memonopoli perdagangan, mencetak
dan mengedarkan uang, mengangkat dan memperhentikan pegawai, mengadakan
perjanjian dengan kerajaan-kerajaan atas nama Staaten General, memiliki tentara untuk mempertahankan diri dan
juga membentuk angkatan perang, mendirikan benteng, menyatakan perang dan
damai, mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat, VOC mempunyai
wewenang untuk membuat undang-undang dan peraturan, serta membentuk pengadilan (Raad van Justitie) dan Mahkamah Agung (Hoog Gerechtshof).
Untuk
mengkoordinasi wilayah kekuasaan VOC yang luas, dan untuk melaksanakan
pemerintahan secara langsung maka mulai tahun 1610 ditunjuk seorang gubernur
jenderal dan sejumlah gubernur wilayah. Sementara itu untuk memberikan nasehat,
pertimbangan, dan pengawasan kepada para gubernur dibentuklah Dewan Hindia
(Raad van Indie) yang dipimpin seorang ketua, seorang wakil ketua, dan 12
anggota. Dewan ini bertugas untuk memberikan keputusan untuk semua kejadian dan
transaksi tanpa campur tangan De Heren
XVII.
Untuk pertama
kalinya, Staaten Generaal mengangkat
Pieter Both pada tahun 1610-1614. Sejak masa Jan Pieterzoon Coen, pengangkatan
semua gubernur jenderal dilakukan oleh De
Heren XVII dengan persetujuan Staaten
Generaal. Sejak 1620, tempat kedudukan gubernur jendral VOC dipindahkan
dari Ternate ke Batavia.[4]
Setelah pusat
kepemimpinan VOC dipindah ke Batavia, VOC mulai melakukan perluasan kekuasaan
dengan melakukan pendekatan dan politik adu domba atau devide at impera terhadap
kerajaan-kerajaan di Indonesia, seperti Ternate, Mataram, Banten, Banjar,
Sumantera, Goa, dan Maluku. Dalam proses perluasan wilayah ke luar Jawa, VOC
mengalami banyak perlawanan dari kerajaan-kerajaan. Hal ini dikarenakan VOC memaksakan
kehendak atas monopili perdagangan. Untuk menghadapi perlawanan bangsa
Indonesia VOC meningkatkan kekuatan militernya serta membangun benteng-benteng
seperti di Ambon, Makasar, Jayakarta dan lain-lain.
VOC berhasil
melakukan monopoli di Indonesia dikarena melakukan beberapa hal diantaranya
adalah melakukan pelayaran hongi untuk memberantas penyelundupan. Tindakan yang
dilakukan VOC adalah merampas setiap kapal penduduk yang menjual langsung
rempah-rempah kepada pedagang asing seperti Inggris, Perancis dan Denmark. Melakukan
Ekstirpasi, yaitu penebangan tanaman
milik rakyat. Tujuannya adalah mepertahankan agar harga rempah-rempah tidak
merosot bila hasil panen berlebihan. Melakukan sistem Verplichte Leverantien, merupakan perjanjian dengan raja-raja
setempat terutama yang kalah perang wajib menyerahkan hasil bumi yang
dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC. Kemudian VOC menerapkan sistem
Contingenten yang berarti rakyat
wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak.
Dalam bulan
Desember 1794, Kaisar Napoleon Bonaparte dari Perancis menyerbu dan akhirnya
menduduki Belanda. Berdasarkan dokumen Kew, Inggris memiliki banyak kapal,
pasukan, dan persenjataan yang lebih banyak dibandingkan Belanda. Pada 1795
Inggris berhasil menduduki Padang, selanjutnya pada 1796 Inggris berhasil
menguasai Ambon. Pada saat yang sama kondisi VOC dalam bidang ekonomi maupun
militer sedang mengalami masa-masa krisis yang amat parah. Hal ini dikarenakan
Belanda harus mengeluarkan biaya perang yang cukup banyak untuk membiayai
perang melawan Inggris pada 1780-1784. Selain itu masalah mendasar yang
dihadapi VOC adalah rendahnya SDM (Sumber Daya Manusia). Tidak semua SDM yang
berkerja di VOC, khususnya di wilayah Asia adalah SDM yang berkwalitas. Masalah
ini ditambah dengan maraknya tidak korupsi didalam tubuh pemerintah. Lantaran
tindak korupsi yang terjadi, keruntuhan VOC sering dituding sebagai V (ergaan) O (nder) C (oruptie), “rontok
karena korupsi”.[5]
Di akhir
Desember 1799, pemerintah Belanda tidak lagi memperpanjang hak oktroi yang
dimiliki oleh VOC. Sejak 1 Januari 1800, VOC dibubarkan secara resmi dan
seluruh aktivitas dan daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh pemerintah
Belanda.
Daftar
Sumber Bacaan:
Burger, D.H.Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia.Jakarta: Pradniyaparamita.
M. Adnan Amal.2010.Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950.Jakarta:PT
Gramedia.
Parakitri T. Simbolon.2007.Menjadi Indonesia.Jakarta:Kompas.
Berkunjung, mantap nih Postinganya!
BalasHapus